Nama : Rafli Nur Haqim
Kelas : 1IA20
NPM : 55416958
Orientasi Nilai Budaya
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut
ahli biologi manusia adalah salah satu diantara hampir sejuta jenis mahluk lain
yang hidup di alam dunia ini, yang terdiri dari mahluk-mahluk yang
sangat sederhana ragawinya, seperti misalnya protozoa, hingga jenis mahluk yang
sangat kompleks, yaitu primat. Namun, diantara semua mahluk itu manusia
memiliki keunggulan, yaitu kebudayaan, yang memungkinkannya hidup disegala
macam lingkungan alam. Sehingga ia menjadi mahluk yang paling berkuasa
dimanapun ia berada. Walaupun demikian, segala kemampuan manusia itu tidak
merupakan bawaan dari alam (yang juga dinamakan “naluri” karena sudah
terprogram didalam gennya, seperti halnya pada hewan), tetapi harus dikuasainya
dengan belajar. Hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena
jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak
dibiasakannya dengan belajar.[1]
Terkait
dengan pemaparan diatas maka pemakalah akan membahas tentang bagaimana manusia
dalam menentukan orientasi nilai budaya itu sendiri yang dimana didalamnya akan
membahasa adat istiadat, norma dan hukum dalam kebudayaan. Dengan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut:
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian adat istiadat dan
bagaimana penjelasan tingkatannya ?
2. Bagaimana gambaran norma dan hukum
dalam adat istiadat ? dan
3. Bagaimana orientasi nilai budaya
dalam masyarakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Adat Istiadat dan Tingkatannya
Secara Khusus
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Adat diartikan
sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
Contoh jika kita menyatakan ( menurut adat daerah
ini calon pengantin tak boleh bertemu sebelum ijab). Sedangkan Istiadat diartikan
segala aturan (tindakan) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun,[2] jadi dapat disimpulkan adat
istadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun menurun dari generasi satu ke
generasi yang lain sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya dengan pola
perilaku masyarakat.[3]
Dalam
ilmu antropologi ad2at merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap
wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat
berfungsi sebagai pengatur kelakuan. suatu contoh dari adat ialah aturan sopan
santun untuk memberi uang kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan.
Adapun adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan yaitu:[4]
a. Tingkat nilai
budaya
Pada
tingkat nilai budaya ini merupakan lapisan
yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.
Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur; tetapi walaupun demikian, justru
karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari
alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat kita sebut sistem nilai-budaya.
b. Tingkat norma-norma
Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret
adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah
terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan
manusia dalam kehidupannya adalah banyak dan manusia sering berobah peranan
dari saat ke saat, dari hari ke hari. Pada suatu saat ia berperanan sebagai
orang atasan, saat kemudian berperanan sebagai orang bawahan, pada suatu hari
ia berperanan sebagai guru, pada hari lain ia adalah pemimpin partai politik.
Tiap peranan membawakan baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi
kelakuannya dalam hal memainkan peranannya yang bersangkutan. Jumlah norma
dalam suatu kebudayaan lebih banyak daripada jumlah nilai-budayanya.
c. Tingkat hukum
Tingkat adat yang
ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun
hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang
sudah terang batas-batas ruang-lingkupnya. Jumlah undang-undang hukum dalam
suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada jumlah norma yang menjadi
pedomannya.
d. Tingkat aturan khusus.
Tingkat adat yang
keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat
jelas dan terbatas ruang-lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya
aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak di antaranya terkait
dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu-lintas. Contoh dari aturan
khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah misalnya aturan
sopan-santun.[5]
B. Gambaran Norma dan Hukum
Dalam Adat Istiadat
Norma
merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong,
bahkan menekan anggota masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai
social.[6]
Norma
terbagi menjadi dua macam isi:
1. Perintah yang
merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena
akibatnya-akibatnya dipandang baik.
2. larangan yaitu
keharusan yang tidak berbuat sesuatu oleh karena itu
akibat-akibatnya tidak di pandang baik.[7]
jadi norma adalah ketentuan-ketentuan baik buruknya prilaku
manusia di tengah pergaulan kehidupan masyarakat dengan menetukan perangkat
perangkat akturan yang besifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan
dalam hidup bermasyarakat.[8]
Norma
dalam adat istiadat lahir karena adanya interaksi social dalam masyarakat.
Masyarakat yang berinteraksi membutuhkan aturan main, tata pergaulan yang dapat
mengatur mereka untuk mencapai suasana yang diharapkan, yaitu tertib dan
teratur. untuk mencapainya maka dibentuklah norma sebagai pedoman yang dapat
digunakan untuk mengatur pola perilaku dan tata kelakuan yang akhirnya
disepakati bersama oleh anggota kelompok masyarakat tersebut.[9]
Adapun
hukum dalam adat istiadat merupakan Istilah masyarakat hukum adat yang
dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan
untuk keperluan teoritik- akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah
istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum
yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.[10] Jadi dapat disimpulkan Pengertian
Hukum Adat yaitu tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum,
misalnya Putusan Kepala Adat, putusan Hakim Perdamaian Desa dan sebagainya
sesuai dengan lapangan kompetensinya masing-masing. Di dalam pengambilan keputusan,
para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh
para tetua adat, antara lain:
1. Asas gotong royong,
2. Fungsi sosial manusia
& milik dalam masyarakat,
3. Asas persetujuan
sebagai dasar dari kekuasaan umum (musyawarah),
4. Asas perwakilan dan
permusyawaratan.
C. Orientasi Nilai Budaya dalam
Masyarakat
Kluckhohn dalam Pelly
(1994) mengemukakan bahwa nilai
budaya merupakan sebuah konsep ruang lingkup luas
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga
suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian
konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai –
nilai budaya.
Secara fungsional sistem nilai
ini mendorong individu untuk berperilaku seperti
apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa
hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl,
dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara
emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan
hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia
tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan
wujud ideal dari lingkungan sosialnya.
Dapat pula dikatakan bahwa sistem
nilai budaya suatu masyarakat
merupakan wujud konsepsional dari
kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu
warga masyarakat itu.
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap
kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly
(1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2)
hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan
waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari
hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Berbagai kebudayaan
mengkonsepsikan masalah universal
ini dengan berbagai variasi yang berbeda –
beda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai
hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama
Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu
pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna
mendapatkan nirwana, dan
mengenyampingkan segala tindakan
yang dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara)
(Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti ini
sangat mempengaruhi wawasan dan makna
kehidupan itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang
berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda
ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam
kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk
kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja
keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status,
jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk
mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada
status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu.
Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa
kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat
kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi
perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional
manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai
kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin
mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh
terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam
banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara
bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan
hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk mementingkan
hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat –
masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical
cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa
atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic
(kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan
mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan
dalam Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam
system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior) untuk semua
orang. Tetapi dalam masyarakat yang mementingkan
kemandirian individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan
kepada masing – masing individu.
Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di
atas merupakan pola yang ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya
terdapat nuansa atau variasi antara kedua pola
yang ekstrim itu yang dapat disebut
sebagai pola transisional. Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar
dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Skema Kluckhohn: Lima Masalah Dasar Yang Menentukan
Orientasi Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar dalam Hidup
|
Orientasi Nilai Budaya
|
||
Hakekat Hidup
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu baik
|
Hidup itu sukar tetapi harus diperjuangkan
|
Hakekat Kerja/karya
|
Kelangsungan hidup
|
Kedudukan dan kehormatan / prestise
|
Mempertinggi prestise
|
Hubungan Manusia Dengan Waktu
|
Orientasi ke masa lalu
|
Orientasi ke masa kini
|
Orientasi ke masa depan
|
Hubungan Manusia Dengan Alam
|
Tunduk kepada alam
|
Selaras dengan alam
|
Menguasai alam
|
Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
|
Vertikal
|
Horizontal/ kolekial
|
Individual/mandiri
|
Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda –
beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan
masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada.
Sementara itu Koentjaraningrat telah menerapkan kerangka
Kluckhohn di atas untuk menganalisis masalah nilai budaya bangsa Indonesia, dan
menunjukkan titik – titik kelemahan dari
kebudayaan Indonesia yang
menghambat pembangunan nasional. Kelemahan utama antara lain
mentalitas meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya
kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, mentalitas suka mengabaikan
tanggungjawab.
Kerangka Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam
penelitian dengan kuesioner untuk mengetahui secara objektif cara berfikir dan
bertindak suku – suku di Indonesia umumnya yang menguntungkan dan merugikan
pembangunan.
Selain itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya
tersebut dimaksudkan disamping untuk mendapatkan gambaran sistem nilai budaya
kelompok – kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga untuk menelusuri sejauhmana
kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi nilai budaya yang sesuai dan
menopang pelaksanaan pembangunan nasional.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
adat
istadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun menurun dari generasi satu ke
generasi yang lain sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya dengan pola
perilaku masyarakat.
Adapun
adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan yaitu: Tingkat nilai
budaya, Tingkat norma-norma, tingkat hukum, tingkat, tingkat aturan khusus.
Mendorong
individu untuk berperilaku seperti apa yang
ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya
dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam
Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional
pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang
diperjuangkan
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. Pengantar Antrpologi, Cet.
IV. Jakarta; Rineka Cipta. 2011 M.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta; Pusat Bahasa. 2008.
Mukhlisin. Kewarganegaraan. Jakarta: Interr
Plus.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. IX; Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2000.
Tim Penyusun. Sosoilogi 1 Suatu Kajian Kehidupan
Masyarakat. Cet. III; Jakarta; Gahalia Indonesia. 1428H/ 2007 M.
Kansil, C.ST. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
Sisworo, Soet Djono Dirjo. Pengantar ilmu Hukum.
Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada. 1983 M.
(Mukim) di Provinsi Aceh”.Disertasi Doktor Ilmu Hukum.
Universitas Sumatera Utara. 2010.
[4]K oentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,
Cet. IX; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. , h . 10-12.
[5] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Cet.
IX; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.), h . 10-12
[6]Tim Penyusun, Sosoilogi 1
Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat, Cet. III, Jakarta; Gahalia Indonesia
1428H/ 2007 M. h. 33
[8]Soet Djono Dirjo Sisworo, Pengantar
ilmu Hukum, Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 1983 M, h. 37
[10](Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor
Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010),h. 36
[14]https://wirasaputra.wordpress.com/2011/10/13/nilai-budaya-sistem-nilai-dan-orientasi-nilai-budaya/
[15]http://rahmana353.blogspot.co.id/2015/06/makalah-orientasi-nilai-budaya.html?m=1
Komentar
Posting Komentar